Media Sosial sebagai Vektor Hoax




[Originally posted for SBF Kastrat Kronos]

Gambar di sebelah sempat mengguncang media sosial yang saya kerap kali pakai, yaitu LINE. Gambar tersebut merupakan bagian dari post yang menjelaskan bahwa gambar tersebut muncul di banyak broadcast aplikasi Whatsapp dan merupakan sebuah hoaks. Post-post semacam ini sedang seringkali muncul, dimana ada sebuah pernyataan/foto yang kontroversial beserta klarifikasi status kebenaran post tersebut. Alih-alih, LINE sudah menjadi media sosial dimana kebenaran dan klarifikasi rajin disebarkan. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial memiliki kapabilitas yang kuat dalam menyebarkan informasi yang sifatnya edukatif dan bermanfaat. At the same time, hal ini menunjukkan bahwa media sosial juga memiliki kapabilitas untuk menyebarkan konten-konten yang bersifat hoax. Dan kapabilitas ini merupakan hal yang kuat dan berbahaya, dan memiliki implikasi di dunia nyata yang amat terasa.
 Kapabilitas Media Sosial dalam Penyebaran Berita
Media sosial didefinisikan sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content" (Haenlein, 2010). User-generated content ini ragamnya sangatlah banyak, misalnya musik dan foto. Konten media sosial yang kerap kali di share oleh warganet termasuk berita, karena menyebarkan berita merupakan kebiasaan sosial yang jauh sudah ada sebelum Internet dalam bentuk percakapan di kantor, pembahasan berita koran di percakapan sehari-hari, dan lain lain (Hermida et al, 2012).
Pembeda utama antara news sharing di media sosial dan dunia nyata adalah fitur ‘online sharing’,  yang memungkinkan seseorang audience dari berita untuk secara aktif menyebarkan berita tersebut secara tertulis. Hal ini memungkinkan sebuah berita untuk menjadi ‘viral’ (Phillips, 2012) ketika berita tersebut tersampaikan kepada audience yang luas melalui online sharing. Oleh karena itu, fitur online sharing ini merupakan fitur yang kuat dalam pergerakan ide karena fitur ini memungkinkan berita tak hanya mencapai audience yang besar, namun juga melibatkan mereka langsung dalam diskusi dan penyebaran, sehingga dapat memicu respons yang kuat dan pergerakan yang nyata dari masyarakat.
Oleh karena itu, online sharing merupakan alat yang efektif dalam memicu perubahan dan aksi, contohnya dalam kasus Agni yang belakang ini viral melalui LINE. Namun, bagaimana jika konten yang di ­online share merupakan konten yang penuh dengan ujaran kebencian? Bagaimana jika konten itu merupakan konten yang penuh dengan SARA? Lebih parahnya lagi, bagaimana jika konten itu merupakan konten yang memang diciptakan untuk menipu?
Kapabilitas Media Sosial dalam Penyebaran Hoaks
Menurut KBBI, hoaks adalah ‘berita bohong’. Pada klasifikasi ‘informasi tidak benar’ (false information) oleh Kumar et al, fake news (berita bohong) didefinisikan sebagai false information yang secara sengaja dirancang untuk menipu untuk sebuah kepentingan tertentu. Lantas, ditulis ulang pertanyaannya. Bagaimana jika berita yang di online share merupakan hoaks?
Jawabannya ada di mana mana sekarang. Dan jawabannya bukanlah jawaban yang baik.
Ambil contoh di India, negara Asia yang merupakan salah satu negara yang paling merasakan dampak negatif dari persebaran hoaks di media sosial. 17 Mei 2017 silam, 3 pria dewasa meninggal diamuk massa akibat berita viral tentang keberadaan pria-pria berpakaian hitam yang menculik anak-anak dari kampung ke kampung. Sebagai negara dengan 1/5 pengguna total Whatsapp, kerap kali hoaks yang penuh dengan amarah nasionalis dan sentimen sektarian disebarkan di komunitas-komunitas rural India. Contoh populer lainnya dari hoaks yang bersirkulasi di India adalah terkontaminasinya minuman mangga terkenal dengan darah penderita AIDS dan seorang penulis kritikus pemerintah dituduh menyembunyikan ‘kekristenannya’. Saking seringnya hal ini terjadi, WhatsApp India menghapus fungsi quick forwarding dan membatasi batasan forward hanya ke 5 orang sekali share dengan harapan bahwa hal ini dapat menghentikan laju penyebaran hoaks. Namun, kenyataannya tidak semudah itu untuk menghentikan laju hoaks di media sosial, karena justru hoaks kuat dan hidup di ranah media sosial.
Riset oleh Vosoughi et al. telah menunjukkan bahwa dalam media sosial, hoaks bergerak lebih cepat, lebih jauh, lebih dalam, dan lebih luas ketimbang berita benar di semua topik berita (ekonomi, politik, olahraga, dst.). Hal ini disebabkan karena topik yang diangkat berita hoaks memiliki sifat yang sensasionalis dan biasanya membangkitkan respons emosional yang kuat, yang mendorong audience untuk meng-online share berita hoaks tersebut (Berger & Milkman, 2012). Walau rerata views hoaks lebih rendah daripada berita benar (3 views vs 3.5 views sehari), namun ada sekitar 1% dari hoaks-hoaks ini yang mencapai lebih dari 1000 views, dan ini sangatlah jarang dicapai bahkan untuk berita yang bukan hoaks. Ditambah lagi, seringkali ada gap 12 jam di antara munculnya hoaks dan klarifikasi kebenarannya, sehingga hoaks tersebut dapat memberikan dampak yang besar dalam waktu singkat itu sebagai informasi yang kebenarannya kurang diketahui karena pada tahap inilah biasanya sebuah hoaks disebarkan dengan sangat gencar (Kumar et al, 2018).
Singkatnya, persebaran hoaks di media sosial jauh lebih efektif dan efisien ketimbang persebaran berita benar di media sosial. Sehingga, hoaks dapat dilakukan untuk mempengaruhi pendapat massa secara besar-besaran. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah strategi untuk menanggulangi penyebaran hoaks.
Menanggulangi Hoaks
Seringkali dalam kasus tersebarnya hoaks, penyedia platform media sosial disalahkan karena kurang adanya tindakan untuk mencegah penyebaran hoaks tersebut, seperti contohnya di kasus di atas yang terjadi di India. Menurut penulis, hal seperti ini adalah hal yang tidak bijak untuk dilaksanakan karena dua hal: pernyataan tersebut tidak mempertimbangkan usaha yang sudah dilakukan oleh provider media sosial dan pernyataan tersebut tidak mempertimbangkan skala dari persebaran hoaks yang terjadi. Mengenai usaha yang dilakukan oleh provider media sosial, sudah ada upaya untuk mengimplementasi sistem RCA (Right Click to Authenticate) yang mengembalikan nilai IQ (Information Quality). Akan tetapi, hal ini tidak memiliki sifat yang reliable dan cenderung dekat dengan censorship of free speech (Pourghomi et al, 2017). Mengenai skala persebaran hoaks yang terjadi, secara matematis populasi persebaran hoaks meningkat secara eksponensial, sehingga semakin banyak populasinya, semakin cepat persebarannya (Situngkir, 2011).
Oleh karena itu, penulis merasa bahwa tidak tepat jika kita menyerahkan kewajiban menghentikan persebaran konten hoaks kepada platform, karena sesungguhnya kewajiban tersebut jatuh di kita, sebagai pengguna media sosial yang berkontribusi kepada media sosial dengan user generated content. Walau mungkin susah, namun kekuatan dan bahaya dari hoaks di media sosial sangatlah nyata, dan kini saatlah kita sebagai pengguna media sosial harus memainkan bagian kita untuk menghentikannya.

References:
1.      Kaplan, Andreas M.; Michael Haenlein (2010) "Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social Media". Business Horizons 53(1): 59–68.
5.     Srijan Kumar and Neil Shah. 2018. False Information on Web and Social Media: A Survey. 1, 1 (April 2018), 35 pages.
6.     Pourghomi, Padis et al. (2017) “Right-click Authenticate Adoption: The Impact of Authenticating Social Media Postings on Information Quality”. The International Conference on Information and Digital Technologies.
7.     Situngkir, H (2011) “Spread of hoax in Social Media”. MPRA.
8.     Bente Kalsnes & Anders Olof Larsson (2018) Understanding News Sharing Across Social Media, Journalism Studies, 19:11, 1669-1688, DOI:10.1080/1461670X.2017.1297686

Comments

Popular Posts