Good Design, Orientasi Mahasiswa, dan Perubahan yang Tak Bisa Dibendung Lagi
[Tech Machiavellian Original]~2000 words/7-15 minutes read
Good Design, Orientasi Mahasiswa, dan Perubahan yang Tak Bisa Dibendung Lagi
Oleh Muhammad Danial YusraDisunting oleh Zafira Binta Feliandra
“Don't criticize unless you can do better” – Donald A. Norman, The Design of Everyday Things
Ada kejadian selama orientasi kemahasiswaan yang sampai sekarang masih berbekas di pikiran.Saya masih ingat ketika dulu hendak mengkritik seorang senior tentang salah satu bagian dari orientasi. Senior itu memarahi kami pada puncak orientasi karena banyaknya kecurangan yang terjadi pada bagian itu. Saya menyanggah dan mengatakan, “itu salah sistemnya, desain dari sistem yang menjadikannya rentan kecurangan”. Namun, yang saya dapatkan hanyalah sebuah bentakan keras. “Jangan mengkritik kalau tidak bisa memberikan solusi!”.
Saya dulu marah sekali karena bentakan ini. Saat itu adalah penghujung tahun 2018, hanya beberapa bulan sebelum pemilu dan tepat di periode kampanye resmi pemilu. Sebagai salah satu mahasiswa di Indonesia, ada sebuah kewajiban moril pada periode ini, yaitu menjalankan peran sebagai pihak yang melantamkan kritik terhadap rezim. Bagi pihak yang enggan mendengar kritik atau sekedar tidak suka, kata-kata “jangan mengkritik kalau tidak bisa memberikan solusi” merupakan senjata yang sering digunakan untuk menepis suara mahasiswa. Saya merasa bahwa ketika sang senior mengatakan hal tersebut, suara saya dirampas dan pendapat saya dibuang.
Secara kebetulan, ketika membaca buku “Design of Everyday Things” – salah satu karya mutakhir dari sang jenius desain dan pelopor UI/UX, Donald Norman – saya menemukan petikan tersebut.
“Don't criticize unless you can do better”
Saya jadi merenungkan kembali momen saya bersama sang senior dulu, dan saya menjadi simpatik.
Mengapa Good Design Sulit?
Kutipan di atas mengomentari bahwa good design bukanlah hal yang mudah maupun sederhana. Seringkali di dunia nyata kita akan menemukan banyak case di mana solusi terbaik tidaklah terpampang dengan jelas.Bisa diartikan bahwa desain (design) berarti hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana sebuah benda atau sistem bekerja, dikendalikan, atau berinteraksi dengan manusia. Desain yang baik dapat diartikan bahwa manusia dapat dengan mudah mengoperasikan sistem tersebut dan memenuhi tujuan yang ingin dicapai.
Desain yang baik merupakan hal yang penting karena satu-satunya cara sebuah sistem “berbicara” dengan pengguna adalah melalui desain. Tanpa adanya desain yang baik, pengguna tidak mungkin dapat menggunakan sistem dengan benar. Sayangnya, merancang sebuah desain yang baik tidaklah mudah. Desain yang baik harus mempertimbangkan kebutuhan pengguna dan tujuan suatu sistem, serta dapat mengkomunikasikan kegunaan dan cara pakai suatu sistem. Hal yang terpenting adalah desain yang baik harus memahami pengguna atau - dengan kata lain - manusia.
Oleh sebab itu, desain yang baik bukanlah hasil dari sembarang kerja, melainkan hasil dari perancangan yang matang dan pertimbangan yang hati-hati untuk mencari solusi yang terbaik dari sebuah masalah. Ada banyak prinsip dan teori yang diuraikan dalam buku “Design of Everyday Things” untuk membantu membuat good design, tetapi terkadang solusi yang tepat sulit untuk ditemukan.
Contohnya adalah sistem yang menggunakan password. Password atau kata sandi merupakan pelindung bagi barang atau informasi yang berharga bagi kita sehingga tidak boleh diketahui oleh orang lain. Salah satu cara menjaga password tetap rahasia adalah dengan menyimpannya hanya di kepala. Namun, akan sulit untuk mengingat berbagai macam password. Cara lain adalah dengan menuliskannya di tempat tersembunyi. Namun, bagaimana jika kita lupa di mana tempat tersebut atau tempat tersebut ditemukan orang lain? Hanya memiliki satu password untuk semua pun sarat akan masalah.
Secara desain, sudah jelas bahwa password bukanlah solusi yang ideal bagi manusia yang kerap lupa. Akan tetapi, di kasus ini, apa alternatif yang terbaik bagi masalah fundamental “bagaimana cara kita dapat menjaga informasi atau barang yang berharga pada lingkup digital?” Tidak ada jawaban yang gamblang nan mudah.
Lantas Don Norman menutup bagian tadi dengan “Don't criticize unless you can do better”.
Duduk Perkara Sistem “Mengenal Mahasiswa”
Kembali ke perdebatan saya dengan senior saya. Hal yang saya permasalahkan adalah desain dari sistem verifikasi dari salah satu rangkaian ospek di kampus saya.Ospek merupakan kepanjangan dari Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus yang merupakan bagian tidak terpisahkan (rite of passage) dari memasuki institusi pendidikan di Indonesia. Setiap institusi pendidikan memiliki budaya dan karakter yang berbeda, sehingga ospek diadakan untuk memperkenalkan mahasiswa baru kepada nilai-nilai setempat dan menyatukan mereka dengan komunitas yang ada di kampus.
Di kampus saya dulu, salah satu rangkaian paling penting adalah “Mengenal Mahasiswa”, atau biasa disebut MM. MM bertujuan untuk mengenalkan para mahasiswa baru dengan para mahasiswa lama untuk saling berkenalan dan bertukar wawasan.
Pada umumnya, MM dilaksanakan dengan memerintahkan mahasiswa baru untuk mengumpulkan tanda tangan mahasiswa lama sebanyak-banyaknya. Untuk mendapatkan tanda tangan, mahasiswa baru harus berkenalan dan berbincang terlebih dulu. Setelah berkenalan, tanda tangan akan dibubuhkan di buku pegangan ospek yang nantinya akan dicek jumlahnya oleh panitia ospek.
Sayangnya, sistem konvensional ini memiliki banyak masalah yang menghambat semangat mahasiswa baru maupun mahasiswa lama untuk berpartisipasi pada rangkaian ini. Jika melihat dari sudut pandang mahasiswa baru, buku pegangan ospek menjadi hambatan karena sering kali proses perkenalan terjadi secara spontan sehingga sulit untuk meminta tanda tangan pada buku tersebut. Menurut sudut pandang mahasiswa lama, memberi puluhan tanda tangan merupakan hal yang merepotkan dan melelahkan.
Secara teori, MM merupakan kegiatan yang baik dan bermanfaat. Namun, secara praktik, MM merupakan kegiatan yang merepotkan dan melelahkan. Partisipasi mahasiswa dalam kegiatan terus menurun setiap tahun. Melihat hal ini, panitia ospek pun berbenah.
Untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam kegiatan MM, dibentuklah sebuah sistem baru yang canggih di mana seluruh proses terjadi lewat laman web ospek. Setiap mahasiswa baru diberikan sebuah akun dan setiap mahasiswa lama diberikan sebuah unique token. Untuk menambahkan mahasiswa lama dalam daftar kenalannya, mahasiswa baru dapat menambahkan unique token dari mahasiswa lama ke dalam akun mereka setelah berkenalan. Kini, tidak ada lagi buku pegangan ospek dan tidak ada lagi kebutuhan untuk menandatangani buku para junior. Secara teori, seluruh keresahan sistem yang sebelumnya kini telah terjawab oleh desain yang baru. Seharusnya, semua elemen mahasiswa, apalagi mahasiswa baru, menjadi lebih antusias mengikuti kegiatan MM.
Tetapi yang terjadi adalah kecurangan yang massal.
Terdapat kelemahan pada sistem MM yang baru, yaitu unique token mahasiswa lama dapat dipakai berkali-kali oleh siapa pun dan kapan pun. Para mahasiswa baru membagikan token para mahasiswa lama kepada teman-temannya seakan mereka juga ikut berkenalan. Kelemahan ini terpampang dengan jelas sehingga kecurangan banyak terjadi.
Para senior pun marah besar. Bisa-bisanya para mahasiswa baru mencurangi hal yang sudah dipermudah oleh sistem yang baru. Saya pun balik marah. Bisa-bisanya para senior merancang sistem dengan kelemahan yang jelas dan tidak terima ketika kelemahan itu dimanfaatkan.
Padahal, jika ditinjau dari segi desain, ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menutup kelemahan tersebut. Misalnya dengan menggunakan QR code untuk input kenalan, kemampuan memblokir token jika dicurigai ada kecurangan, atau menggunakan mekanisme one-time password untuk memastikan bahwa setiap token dipakai hanya sekali.
Dulu saya berpikir, sangat disayangkan bahwa sistem ini menjadi gagal hanya karena sebuah oversight sepele terhadap security risk (baca: kerentanan terhadap kecurangan) yang sebenarnya mudah untuk diperbaiki. Namun, setelah membaca buku dari Don Norman dan sedikit lebih bijak, saya jadi sadar yang menjadi musuh utama para panitia ospek bukanlah sebuah desain sistem yang buruk.
Melainkan perubahan zaman yang tak mampu lagi untuk dibendung.
Melawan Perubahan Zaman dengan Desain, Sebuah Kesia-siaan
Saya mengingat kembali perkataan senior saya 4 tahun lalu terkait angkatan saya. Saat itu, kami berdiskusi terkait rendahnya animo angkatan saya terhadap tantangan ospek, khususnya MM. Tiba-tiba, ia berceloteh. “Ya, itulah. Memang kita sudah berbeda generasi. Angkatan kalian yang rata-rata lahir pada tahun 2000, semuanya Gen-Z, tidak seperti angkatan sebelumnya, dan sebelumnya lagi, dan seterusnya.”.
Awalnya saya bingung, seakan ada garis tebal dan jelas yang memisahkan angkatan saya dengan angkatan sebelumnya. Namun, ia memang betul terhadap satu hal: ada yang membedakan saya dengan angkatan yang sebelumnya: angkatan saya menyaksikan mula dari runtuhnya ospek sebagai institusi.
Ospek – dalam berbagai jenis bentuknya – merupakan sebuah institusi dan tradisi yang sudah lama hadir di Indonesia. Berawal dari praktik ontgroening di STOVIA pada masa Belanda, di mana para pelajar dikenalkan kepada lingkungan kampus dan seluruh aktivitas ekstrakurikuler yang ada, ospek perlahan berkembang menjadi sebuah ajang di mana para mahasiswa baru harus menelan perpeloncoan dengan dalih “pendewasaan diri”. Pada perkembangannya, ospek menjadi tradisi yang diwarnai banyak “inovasi”, seperti kekerasan, aksesoris lucu, dandanan aneh, hingga ritual adu fisik yang berujung kematian.
Fakta bahwa praktik ospek yang “keras” begitu luas dan lazim membuatnya menjadi kebal terhadap perubahan sosial. Mulai dari masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga dekade pertama reformasi, konsep bahwa “ospek” merupakan bagian dari pengalaman pendidikan yang wajib tidak pernah dipertanyakan secara kritis. Padahal, pengalaman ospek sarat akan ketidakadilan dan penderitaan. Seperti kata Kak Seto, ospek itu “seperti mata rantai, yang senior menghukum yang junior, sedangkan si junior punya dendam, dan akan memperlakukan adik kelasnya seperti apa yang dialaminya dulu”.
Kasus kejamnya segala penindasan ospek perlahan bermunculan. Siapa yang bisa lupa akan meninggalnya Dwiyanto Wisnu dari ITB pada tahun 2008 ketika long march ITB atau tewasnya Fikri Dolas dari ITN Malang pada tahun 2013 karena kekerasan. Perlahan, gambaran bahwa ospek merupakan rangkaian yang mengerikan menjadi lekat di publik. Banyak elemen masyarakat mulai mempertanyakan manfaat kegiatan ospek. Apakah betul ospek yang keras membentuk “karakter” dan “solidaritas” angkatan? Apakah betul ospek dalam bentukan yang sekarang memberikan manfaat bagi mahasiswa? Apakah betul bahwa ospek merupakan rangkaian yang dipercayakan sepenuhnya kepada para mahasiswa senior?
Ada sebuah kesadaran baru yang lahir di tengah masyarakat bahwa ospek yang “keras” tak lagi bermanfaat dan perlu untuk ditinjau kembali Ospek perlu diperbaiki sehingga menjadi aktivitas yang membangun dan memberi dampak positif.
Zeitgeist (semangat) ini mencapai puncaknya ketika Kementerian Pendidikan – yang saat itu dipimpin oleh Anies Baswedan – mengeluarkan aturan yang resmi melarang perpeloncoan pada institusi pendidikan. sekolah wajib mengawasi seluruh rangkaian ospek dan tidak boleh melepas para senior untuk melakukan hal dengan semena-mena. Aturan ini baru diterapkan secara tegas pada bulan Agustus 2015, persis setelah angkatan saya selesai mengikuti masa orientasi sekolah (MOS) tingkat SMA. Ketika kami naik kelas -“giliran” kami untuk melaksanakan MOS - kami melihat perubahan paradigma MOS dalam waktu yang instan. Pihak sekolah kini memiliki suara dalam penyusunan rangkaian acara MOS. Para guru kini ikut mengawasi jalannya ospek. Kami, para senior, tidak boleh semena-mena lagi. Secara simbolik, nama MOS pun dihapuskan dan diganti menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Maka, dengan menyaksikan perubahan ini, angkatan saya menjadi sadar bahwa “ospek” sebagai institusi tidaklah kebal. Banyak dari kami yang menjadi skeptis akan ospek yang penuh drama dan kekerasan. Bahkan, tidak sedikit yang mencap bahwa semua jenis “ospek” tidak berguna sehingga menjadi antipati.
Jika ditinjau kembali, angkatan saya memiliki tingkat penyelesaian (baca: jumlah siswa yang menyelesaikan) MM terendah dalam sejarah ospek. Padahal saat itu sistem MM sudah dipermudah dan mudah untuk dicurangi. Artinya, lebih banyak mahasiswa yang tidak peduli dan tidak mau tahu akan proses ospek ketimbang yang peduli dan mau berjuang, walau tidak jujur.
Pada konteks sosial inilah terjadi penurunan animo terhadap “Mengenal Mahasiswa”.
Awalnya saya bingung, seakan ada garis tebal dan jelas yang memisahkan angkatan saya dengan angkatan sebelumnya. Namun, ia memang betul terhadap satu hal: ada yang membedakan saya dengan angkatan yang sebelumnya: angkatan saya menyaksikan mula dari runtuhnya ospek sebagai institusi.
Ospek – dalam berbagai jenis bentuknya – merupakan sebuah institusi dan tradisi yang sudah lama hadir di Indonesia. Berawal dari praktik ontgroening di STOVIA pada masa Belanda, di mana para pelajar dikenalkan kepada lingkungan kampus dan seluruh aktivitas ekstrakurikuler yang ada, ospek perlahan berkembang menjadi sebuah ajang di mana para mahasiswa baru harus menelan perpeloncoan dengan dalih “pendewasaan diri”. Pada perkembangannya, ospek menjadi tradisi yang diwarnai banyak “inovasi”, seperti kekerasan, aksesoris lucu, dandanan aneh, hingga ritual adu fisik yang berujung kematian.
Fakta bahwa praktik ospek yang “keras” begitu luas dan lazim membuatnya menjadi kebal terhadap perubahan sosial. Mulai dari masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga dekade pertama reformasi, konsep bahwa “ospek” merupakan bagian dari pengalaman pendidikan yang wajib tidak pernah dipertanyakan secara kritis. Padahal, pengalaman ospek sarat akan ketidakadilan dan penderitaan. Seperti kata Kak Seto, ospek itu “seperti mata rantai, yang senior menghukum yang junior, sedangkan si junior punya dendam, dan akan memperlakukan adik kelasnya seperti apa yang dialaminya dulu”.
Kasus kejamnya segala penindasan ospek perlahan bermunculan. Siapa yang bisa lupa akan meninggalnya Dwiyanto Wisnu dari ITB pada tahun 2008 ketika long march ITB atau tewasnya Fikri Dolas dari ITN Malang pada tahun 2013 karena kekerasan. Perlahan, gambaran bahwa ospek merupakan rangkaian yang mengerikan menjadi lekat di publik. Banyak elemen masyarakat mulai mempertanyakan manfaat kegiatan ospek. Apakah betul ospek yang keras membentuk “karakter” dan “solidaritas” angkatan? Apakah betul ospek dalam bentukan yang sekarang memberikan manfaat bagi mahasiswa? Apakah betul bahwa ospek merupakan rangkaian yang dipercayakan sepenuhnya kepada para mahasiswa senior?
Ada sebuah kesadaran baru yang lahir di tengah masyarakat bahwa ospek yang “keras” tak lagi bermanfaat dan perlu untuk ditinjau kembali Ospek perlu diperbaiki sehingga menjadi aktivitas yang membangun dan memberi dampak positif.
Zeitgeist (semangat) ini mencapai puncaknya ketika Kementerian Pendidikan – yang saat itu dipimpin oleh Anies Baswedan – mengeluarkan aturan yang resmi melarang perpeloncoan pada institusi pendidikan. sekolah wajib mengawasi seluruh rangkaian ospek dan tidak boleh melepas para senior untuk melakukan hal dengan semena-mena. Aturan ini baru diterapkan secara tegas pada bulan Agustus 2015, persis setelah angkatan saya selesai mengikuti masa orientasi sekolah (MOS) tingkat SMA. Ketika kami naik kelas -“giliran” kami untuk melaksanakan MOS - kami melihat perubahan paradigma MOS dalam waktu yang instan. Pihak sekolah kini memiliki suara dalam penyusunan rangkaian acara MOS. Para guru kini ikut mengawasi jalannya ospek. Kami, para senior, tidak boleh semena-mena lagi. Secara simbolik, nama MOS pun dihapuskan dan diganti menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Maka, dengan menyaksikan perubahan ini, angkatan saya menjadi sadar bahwa “ospek” sebagai institusi tidaklah kebal. Banyak dari kami yang menjadi skeptis akan ospek yang penuh drama dan kekerasan. Bahkan, tidak sedikit yang mencap bahwa semua jenis “ospek” tidak berguna sehingga menjadi antipati.
Jika ditinjau kembali, angkatan saya memiliki tingkat penyelesaian (baca: jumlah siswa yang menyelesaikan) MM terendah dalam sejarah ospek. Padahal saat itu sistem MM sudah dipermudah dan mudah untuk dicurangi. Artinya, lebih banyak mahasiswa yang tidak peduli dan tidak mau tahu akan proses ospek ketimbang yang peduli dan mau berjuang, walau tidak jujur.
Pada konteks sosial inilah terjadi penurunan animo terhadap “Mengenal Mahasiswa”.
Penutup
Menyadari hal ini membuat saya menjadi simpatik kepada para panitia ospek. Mereka telah berupaya sebaik mungkin untuk mempertahankan sebuah tradisi dan ideal yang baik dengan memperbaiki sistem lama. Namun, mereka tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Hanya celotehan negatif dari mahasiswa seperti saya yang mengatakan bahwa sistem mereka jelek.
Sudah 4 tahun berlalu semenjak momen itu. Namun, masalah yang dihadapi oleh panitia ospek seterusnya pun tidaklah jauh berbeda. Mereka masih bergulat dengan sebuah pertanyaan mendasar yang sama. “Bagaimana caranya mempertahankan sebuah tradisi yang baik di tengah pergeseran nilai yang massal?”. Mungkin mereka dapat menemukan jawaban dengan melihat perkara ospek ini dengan lebih simpatik terhadap mahasiswa baru dan mengupayakan untuk memahami kebutuhan serta pendapat mereka. Mungkin panitia ospek dapat berbenah dan mengevaluasi kembali ospek dari tingkatan yang mendasar. Mungkin panitia ospek dapat melakukan gebrakan transformatif terhadap budaya perkenalan mahasiswa baru kepada lingkungan kampus.
Setidaknya mereka dapat belajar bahwa desain tidak serta-merta menjadi solusi atas permasalahan ini. Sama seperti fakta bahwa teknologi bukanlah jawaban dari segala masalah. Mungkin kali ini, desainlah yang harus menyesuaikan dengan perubahan zaman dan nilai.
What makes good design good, what makes bad design bad? | by Paul Erdmann | UX Collective (uxdesign.cc)
Mengenal Ospek: Singkatan dan Jenis-jenisnya (detik.com)
Sejarah MOS di Indonesia dimulai dari Stovia | merdeka.com
Inilah Sejarah Orientasi Siswa / Ospek dari Masa ke Masa | KASKUS
Deretan Kasus MOS Berujung Maut | merdeka.com
Wakil Rektor ITN Malang Akui Ada Kekerasan Seksual saat Ospek - Tribunnews.com
10 Kasus Kematian Akibat Plonco Ospek Maut : Okezone Edukasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia (kemdikbud.go.id)
Sudah 4 tahun berlalu semenjak momen itu. Namun, masalah yang dihadapi oleh panitia ospek seterusnya pun tidaklah jauh berbeda. Mereka masih bergulat dengan sebuah pertanyaan mendasar yang sama. “Bagaimana caranya mempertahankan sebuah tradisi yang baik di tengah pergeseran nilai yang massal?”. Mungkin mereka dapat menemukan jawaban dengan melihat perkara ospek ini dengan lebih simpatik terhadap mahasiswa baru dan mengupayakan untuk memahami kebutuhan serta pendapat mereka. Mungkin panitia ospek dapat berbenah dan mengevaluasi kembali ospek dari tingkatan yang mendasar. Mungkin panitia ospek dapat melakukan gebrakan transformatif terhadap budaya perkenalan mahasiswa baru kepada lingkungan kampus.
Setidaknya mereka dapat belajar bahwa desain tidak serta-merta menjadi solusi atas permasalahan ini. Sama seperti fakta bahwa teknologi bukanlah jawaban dari segala masalah. Mungkin kali ini, desainlah yang harus menyesuaikan dengan perubahan zaman dan nilai.
References
Norman, Donald A. 2013. The Design of Everyday Things. The MIT Press. Cambridge, Mass.: MIT Press.What makes good design good, what makes bad design bad? | by Paul Erdmann | UX Collective (uxdesign.cc)
Mengenal Ospek: Singkatan dan Jenis-jenisnya (detik.com)
Sejarah MOS di Indonesia dimulai dari Stovia | merdeka.com
Inilah Sejarah Orientasi Siswa / Ospek dari Masa ke Masa | KASKUS
Deretan Kasus MOS Berujung Maut | merdeka.com
Wakil Rektor ITN Malang Akui Ada Kekerasan Seksual saat Ospek - Tribunnews.com
10 Kasus Kematian Akibat Plonco Ospek Maut : Okezone Edukasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia (kemdikbud.go.id)
Comments
Post a Comment