Belajar Dari Covid-19
Belajar dari Covid-19
Oleh Muhammad Danial Yusra
Co-edited By Zafira Binta Feliandra
Di awal penulisan
artikel ini (28/06/2021), Indonesia sedang menghadapi krisis: naiknya kasus Coronavirus
secara tiba-tiba dan serentak.
Bagi sebagian pihak,
hal ini mungkin sudah diantisipasi. Bukanlah sebuah rahasia bahwa masyarakat banyak yang pulang kampung setelah
larangan mudik diangkat. Dari sini, mudah sekali untuk memprediksi terjadinya
kenaikan kasus positif Covid-19, dan memang benar hal seperti itu terlihat tepat
dua minggu setelah larangan tersebut diangkat. Akan tetapi, yang tidak
diantisipasi adalah kecepatan dan skala penyebaran tersebut. Dalam waktu singkat, media
Indonesia dipenuhi oleh berita tentang jumlah kasus harian yang memecahkan
rekor-rekor sebelumnnya dan rumah sakit yang menghadapi overcapacity.
Mereka yang menyalahkan pemerintah atas kelalaian
dan kelambatannya dalam menangani hal ini mungkin tidak sedikit, akan tetapi yang justru menjadi fokus netizen
dan media adalah mereka yang tidak percaya adanya ‘Coronavirus-19’. Di tengah
pandemi yang terus menelan korban ini, pihak tersebut menuduh bahwa ada kelompok serba kuat dan
rahasia yang secara sengaja mem-“buat-buat” virus ini demi keuntungan pribadi mereka. Karena adanya ketidakpercayaan akan Covid-19 pada beberapa
pihak, mereka tidak
mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga dinilai
oleh masyarakat sebagai salah satu penyebab mengapa pandemi ini sangat sulit dikendalikan
di Indonesia.
Survey BPS
menyebutkan
bahwa sekitar 17% dari rakyat Indonesia tidak memercayai keberadaan virus
Covid-19. Hal ini diperkuat oleh
survey lain LBM Eijkman yang mengungkap bahwa sekitar 20% rakyat Indonesia tidak percaya adanya virus ini. Dengan kata lain, bisa di bilang bahwa
1 dari 5 orang Indonesia percaya
bahwa pandemi hanyalah dibuat-buat.
Meskipun merupakan fakta yang membuat miris, melihat statistik ini memberikan rasionalisasi terhadap mengapa penanganan pandemi virus Covid-19 di
Indonesia sangat sulit. “Ada oknum yang
tidak patuh aturan, sehingga semua upaya mengontrol pandemi menjadi gagal”,
begitulah kira-kira bunyinya. Fakta bahwa mayoritas orang Indonesia tidak
berpendidikan tinggi dan miskin juga mewajarkan dan menguatkan rasionalisasi
tersebut. Menafikan pihak-pihak yang tidak percaya Covid-19 (atau setidaknya
mengentengkan penyakit ini) sebagai oknum tidaklah salah, karena mereka
hanyalah 20% dari populasi; bukanlah mayoritas maupun representasi dari masyarakat
Indonesia.
Akan tetapi penulis
berpendapat bahwa pikiran itu – yakni menyalahkan pandemi kepada oknum - masih
setengah jalan dan berpotensi menyesatkan. Alasannya adalah karena pada pandemi
ini yang memiliki kekuatan dalam menentukan sukses atau tidaknya penanganan
pandemi ini sebenarnya adalah oknum. Masih ada 80% masyarakat Indonesia yang
mempercayai adanya virus Covid-19 dan mematuhi prosedur kesehatan dengan baik. Sebagai
contoh, banyak anggota masyarakat yang sudah lama tidak jalan dengan teman-temannya.
Ada juga yang harus terus berdiam di rumah walaupun rumah bukanlah tempat
ternyaman maupun teraman baginya. Dan sebagian lain adalah mereka yang tiap
hari harus mendekam di rumah sakit untuk menyembuhkan mereka yang telah menjadi
korban. Merekalah yang telah berkorban banyak dan lama berkorban banyak dalam
pencegahan penyebaran virus Covid-19 demi masyarakat. Akan tetapi, satu anggota
masyarakat – oknum – yang sembrono dapat menyebabkan penyebaran virus yang
tidak terkendali dan mengacaukan segala-galanya dalam waktu yang singkat, membuat
seluruh kontribusi kolektif yang sudah susah-susah dibangun masyarakat tidak
berarti.
Berdasarkan dari itu,
dapat dilihat bahwa ‘Pandemi Coronavirus-19’ merupakan contoh sistem di mana oknum
memiliki kuasa; di mana satu individu yang bukan representatif dari sistem dapat menggagalkan
seluruh kerja sistem; di mana setitik nila benar-benar merusak susu satu sebelanga.
Oleh karena itu, kita yang bukan “oknum”
dan memercayai akan bahaya virus Covid-19, tidak bisa hanya menafikan mereka yang
tidak percaya virus ini sebagai oknum lalu menyalahkannya. Mau tidak mau ada tanggung jawab untuk
melibatkan mereka kembali ke dalam masyarakat, ke dalam “sistem penangkal”
Covid-19 yang telah bersama-sama disusun oleh pengorbanan masyarakat dan
pemerintah. Mau tidak mau harus ada
upaya untuk berdialog dan berbicara dengan mereka supaya
mereka tahu akan bahayanya Covid-19 sehingga berubah pikiran, bukan hanya
membiarkan mereka dalam ketidaktahuannya dan ketidakmautahuannya. Membiarkan
keberadaan orang-orang yang tidak memercayai Covid-19 membawa risiko besar,
yaitu membuat seluruh pengorbanan ini menjadi sia-sia.
Namun, hal yang tak
kalah penting adalah memberikan hukuman yang tegas kepada para oknum jika
mereka tetap bersikeras dan menyebabkan bahaya bagi semuanya. Agreeing to
disagree memang terkadang menjadi hal yang tidak terhindarkan, tetapi dalam
konteks penanganan pandemi, membiarkan pihak-pihak ini dapat berujung pada kehilangan
nyawa yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, mau tidak mau harus dijatuhkan
hukuman yang setimpal, untuk mencegah mereka melakukan pelanggaran yang sama
dan juga sebagai peringatan kepada oknum yang lain.
Selain itu, setiap pihak
harus sadar bahwa masing-masing memiliki peran tersendiri. Misalnya, walau sebagai
rakyat biasa kita tidak memiliki wewenang untuk merilis pernyataan resmi, kita
bisa berbicara kepada teman dan saudara kita tentang pandemi ini. Walaupun masyarakat
bisa memberikan hukuman sosial kepada para oknum, pemerintah tetap yang memiliki
wewenang untuk memberikan hukuman formal, seperti penjara maupun denda kepada
mereka yang dinilai telah melampaui batas. Lebih baik lagi jika yang dituju
bukan hanya oknum-oknum yang tidak percaya Covid-19, melainkan juga oknum yang secara terang-terangan tidak mematuhi
protokol kesehatan dan bertindak seenaknya, terlepas dari kepercayaan mereka
terhadap Covid-19. Jika setiap pihak memainkan perannya dengan baik, maka tentu
hal-hal yang tidak diinginkan seperti kenaikan kasus yang tiba-tiba dapat
dihindari, bukan?
Jangan sampai dengan
kita berpikir bahwa “oknum” penyebab semua ini, kita melepas tangan.
Tetapi nyatanya hal
seperti ini tidak terjadi. Kenyataannya adalah di Indonesia mereka yang
memiliki peran-peran penting banyak yang melupakan tanggung jawabnya. Misalnya,
pemerintah tidak menjalankan fungsi komunikasinya secara efektif, jelas, maupun
konsisten. Kerap-kali pemerintah menyajikan informasi yang beragam mengenai
pandemi sehingga masyarakat pun susah memahami
- apalagi menerima – arahan-arahan yang datang. Dari sisi lain, rakyat juga
kerap-kali tidak mendukung upaya aparat dalam menjalankan protokol-protokol
kesehatan. Misalnya adalah ketika rakyat berpihak kepada pedagang kaki lima
yang masih buka melewati jam malam, bukan kepada polisi yang berupaya
menertibkan. Ada juga selebriti yang secara terbuka menyebutkan bahwa Covid-19
merupakan hal yang palsu, dan ada daerah yang sepenuhnya tidak percaya Covid-19. Di tengah
kekacau-balauan dan tidak adanya sinergi ini, wajar jika oknum-oknum merajalela
dan dengan mudah menyebarkan Covid-19 dari Sabang sampai Merauke. Bukan hal
yang mengagetkan jika rumah sakit di seluruh Indonesia menjadi kewalahan, dan
nyawa-nyawa yang mestinya dilindungi bersama-sama justru menjadi korban satu
per satu. Bukan hal yang salah juga, jika kita mengatakan bahwa di sini pemerintah
Indonesia, dan lebih jauh lagi, masyarakat Indonesia, telah gagal dalam
menghadapi Covid-19.
Ternyata, salah satu
pelajaran yang dapat diambil dari penanganan Covid-19 di Indonesia, adalah
bahwa Indonesia - baik pemerintahannya maupun masyarakatnya - tidak mampu membendung
kekuatan dan pengaruh oknum-oknum terhadap berhasil-tidaknya, baik-buruknya
sistem-sistem mereka. Kesadaran ini, menurut penulis, merupakan sesuatu yang
penting, karena nyatanya penanganan pandemi Covid-19 bukanlah satu-satunya sistem
di mana ‘oknum’ memiliki kekuatan besar yang sedang Indonesia hadapi. Contoh
sistem serupa adalah pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan bahkan
pelaksanaan pemerintahan itu sendiri; di mana kekuatan terpusat kepada oknum-oknum
yang tidak representatif akan seluruh sistemnya. Bedanya, penanganan Covid-19
di Indonesia dapat diukur hasilnya dan dinilai dengan mudah. Dari sini, kita
bisa mendapat pelajaran-pelajaran lain yang lebih spesifik dan berharga dalam
menghadapi sistem-sistem di mana oknum punya kekuatan yang sedang berjalan, dan
mungkin akan terus berjalan tanpa
pernah dapat dinilai.
REFERENSI
- CNN Indonesia – Positif Covid-19
Melonjak 12.906 Kasus, Kematian Naik 248
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210619151639-20-656637/positif-covid-19-melonjak-12906-kasus-kematian-naik-248
Dikunjungi pada 28/06/2021
-
Ayo Surabaya - Larangan Mudik 2021
Dicabut, Benarkah Cek Faktanya?
https://www.ayosurabaya.com/read/2021/05/01/10420/larangan-mudik-2021-dicabut-benarkah-cek-faktanya
Dikunjungi pada 28/06/2021
-
Detik Health - Doni Monardo
Geram Masih Ada 17 Persen Warga Yang Tak Percaya Corona
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5486777/doni-monardo-geram-masih-ada-17-persen-warga-yang-tak-percaya-corona
Dikunjungi pada 28/06/2021
-
Deutsche Welle – Survei Hanya
54.9% Masyarakat Bersedia Divaksinasi, Ini Kata Pemerintah
Dikunjungi pada 29/06/2021
-
Gatra – Miris Covid Makin Mengiris
Kepatuhan Warga Pada Prokes Tipis
Dikunjungi pada 29/06/2021
-
AntaraNews – Epidemiolog: Sinergi
Pemerintah-Masyarakat Penting Tekad Covid-19s
Dikunjungi pada 30/06/2021
-
Kompas – Polisi Tutup Tempat Usaha,
Pedagang Ngamuk: “Kami Laksanakan Hidup Pak”
Dikunjungi pada 30/06/2021
-
VOI.ID – Jerinx Demo Anti Rapid
Test, Kasatpol: If You Get Covid-19, Who Is Responsible
https://voi.id/en/news/9746/jerinx-demo-anti-rapid-test-kasatpol-if-you-get-covid-19-who-is-responsible
Dikunjungi pada 30/06/2021
Comments
Post a Comment