Belajar Dari Covid-19


 [Tech Machiavellian Original]
~1000 words/5-10 minutes read

Belajar dari Covid-19

Oleh Muhammad Danial Yusra
Co-edited By Zafira Binta Feliandra

Di awal penulisan artikel ini (28/06/2021), Indonesia sedang menghadapi krisis: naiknya kasus Coronavirus secara tiba-tiba dan serentak.

Bagi sebagian pihak, hal ini mungkin sudah diantisipasi. Bukanlah sebuah rahasia bahwa masyarakat banyak yang pulang kampung setelah larangan mudik diangkat. Dari sini, mudah sekali untuk memprediksi terjadinya kenaikan kasus positif Covid-19, dan memang benar hal seperti itu terlihat tepat dua minggu setelah larangan tersebut diangkat. Akan tetapi, yang tidak diantisipasi adalah kecepatan dan skala penyebaran tersebut. Dalam waktu singkat, media Indonesia dipenuhi oleh berita tentang jumlah kasus harian yang memecahkan rekor-rekor sebelumnnya dan rumah sakit yang menghadapi overcapacity.   

Mereka yang menyalahkan pemerintah atas kelalaian dan kelambatannya dalam menangani hal ini mungkin tidak sedikit, akan tetapi yang justru menjadi fokus netizen dan media adalah mereka yang tidak percaya adanya ‘Coronavirus-19’. Di tengah pandemi yang terus menelan korban ini, pihak tersebut menuduh bahwa ada kelompok serba kuat dan rahasia yang secara sengaja mem-“buat-buatvirus ini demi keuntungan pribadi mereka. Karena adanya ketidakpercayaan akan Covid-19 pada beberapa pihak, mereka tidak mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga dinilai oleh masyarakat sebagai salah satu penyebab mengapa pandemi ini sangat sulit dikendalikan di Indonesia.

 Survey BPS menyebutkan bahwa sekitar 17% dari rakyat Indonesia tidak memercayai keberadaan virus Covid-19.  Hal ini diperkuat oleh survey lain LBM Eijkman yang mengungkap bahwa sekitar 20% rakyat Indonesia tidak percaya adanya virus ini. Dengan kata lain, bisa di bilang bahwa 1 dari 5 orang Indonesia percaya bahwa pandemi hanyalah dibuat-buat.

Meskipun merupakan fakta yang membuat miris, melihat statistik ini memberikan rasionalisasi terhadap mengapa penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia sangat sulit.  “Ada oknum yang tidak patuh aturan, sehingga semua upaya mengontrol pandemi menjadi gagal”, begitulah kira-kira bunyinya. Fakta bahwa mayoritas orang Indonesia tidak berpendidikan tinggi dan miskin juga mewajarkan dan menguatkan rasionalisasi tersebut. Menafikan pihak-pihak yang tidak percaya Covid-19 (atau setidaknya mengentengkan penyakit ini) sebagai oknum tidaklah salah, karena mereka hanyalah 20% dari populasi; bukanlah mayoritas maupun representasi dari masyarakat Indonesia.

Akan tetapi penulis berpendapat bahwa pikiran itu – yakni menyalahkan pandemi kepada oknum - masih setengah jalan dan berpotensi menyesatkan. Alasannya adalah karena pada pandemi ini yang memiliki kekuatan dalam menentukan sukses atau tidaknya penanganan pandemi ini sebenarnya adalah oknum. Masih ada 80% masyarakat Indonesia yang mempercayai adanya virus Covid-19 dan mematuhi prosedur kesehatan dengan baik. Sebagai contoh, banyak anggota masyarakat yang sudah lama tidak jalan dengan teman-temannya. Ada juga yang harus terus berdiam di rumah walaupun rumah bukanlah tempat ternyaman maupun teraman baginya. Dan sebagian lain adalah mereka yang tiap hari harus mendekam di rumah sakit untuk menyembuhkan mereka yang telah menjadi korban. Merekalah yang telah berkorban banyak dan lama berkorban banyak dalam pencegahan penyebaran virus Covid-19 demi masyarakat. Akan tetapi, satu anggota masyarakat – oknum – yang sembrono dapat menyebabkan penyebaran virus yang tidak terkendali dan mengacaukan segala-galanya dalam waktu yang singkat, membuat seluruh kontribusi kolektif yang sudah susah-susah dibangun masyarakat tidak berarti.

Berdasarkan dari itu, dapat dilihat bahwa ‘Pandemi Coronavirus-19’ merupakan contoh sistem di mana oknum memiliki kuasa; di mana satu individu yang bukan representatif dari sistem dapat menggagalkan seluruh kerja sistem; di mana setitik nila benar-benar merusak susu satu sebelanga.

Oleh karena itu, kita yang bukan “oknum” dan memercayai akan bahaya virus Covid-19, tidak bisa hanya menafikan mereka yang tidak percaya virus ini sebagai oknum lalu menyalahkannya. Mau tidak mau ada tanggung jawab untuk melibatkan mereka kembali ke dalam masyarakat, ke dalam “sistem penangkal” Covid-19 yang telah bersama-sama disusun oleh pengorbanan masyarakat dan pemerintah. Mau tidak mau harus ada upaya untuk berdialog dan berbicara dengan mereka supaya mereka tahu akan bahayanya Covid-19 sehingga berubah pikiran, bukan hanya membiarkan mereka dalam ketidaktahuannya dan ketidakmautahuannya. Membiarkan keberadaan orang-orang yang tidak memercayai Covid-19 membawa risiko besar, yaitu membuat seluruh pengorbanan ini menjadi sia-sia.

Namun, hal yang tak kalah penting adalah memberikan hukuman yang tegas kepada para oknum jika mereka tetap bersikeras dan menyebabkan bahaya bagi semuanya. Agreeing to disagree memang terkadang menjadi hal yang tidak terhindarkan, tetapi dalam konteks penanganan pandemi, membiarkan pihak-pihak ini dapat berujung pada kehilangan nyawa yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, mau tidak mau harus dijatuhkan hukuman yang setimpal, untuk mencegah mereka melakukan pelanggaran yang sama dan juga sebagai peringatan kepada oknum yang lain.

Selain itu, setiap pihak harus sadar bahwa masing-masing memiliki peran tersendiri. Misalnya, walau sebagai rakyat biasa kita tidak memiliki wewenang untuk merilis pernyataan resmi, kita bisa berbicara kepada teman dan saudara kita tentang pandemi ini. Walaupun masyarakat bisa memberikan hukuman sosial kepada para oknum, pemerintah tetap yang memiliki wewenang untuk memberikan hukuman formal, seperti penjara maupun denda kepada mereka yang dinilai telah melampaui batas. Lebih baik lagi jika yang dituju bukan hanya oknum-oknum yang tidak percaya Covid-19, melainkan juga oknum yang secara terang-terangan tidak mematuhi protokol kesehatan dan bertindak seenaknya, terlepas dari kepercayaan mereka terhadap Covid-19. Jika setiap pihak memainkan perannya dengan baik, maka tentu hal-hal yang tidak diinginkan seperti kenaikan kasus yang tiba-tiba dapat dihindari, bukan?

Jangan sampai dengan kita berpikir bahwa “oknum” penyebab semua ini, kita melepas tangan.

Tetapi nyatanya hal seperti ini tidak terjadi. Kenyataannya adalah di Indonesia mereka yang memiliki peran-peran penting banyak yang melupakan tanggung jawabnya. Misalnya, pemerintah tidak menjalankan fungsi komunikasinya secara efektif, jelas, maupun konsisten. Kerap-kali pemerintah menyajikan informasi yang beragam mengenai pandemi sehingga masyarakat pun susah memahami  - apalagi menerima – arahan-arahan yang datang. Dari sisi lain, rakyat juga kerap-kali tidak mendukung upaya aparat dalam menjalankan protokol-protokol kesehatan. Misalnya adalah ketika rakyat berpihak kepada pedagang kaki lima yang masih buka melewati jam malam, bukan kepada polisi yang berupaya menertibkan. Ada juga selebriti yang secara terbuka menyebutkan bahwa Covid-19 merupakan hal yang palsu, dan ada daerah yang sepenuhnya tidak percaya Covid-19. Di tengah kekacau-balauan dan tidak adanya sinergi ini, wajar jika oknum-oknum merajalela dan dengan mudah menyebarkan Covid-19 dari Sabang sampai Merauke. Bukan hal yang mengagetkan jika rumah sakit di seluruh Indonesia menjadi kewalahan, dan nyawa-nyawa yang mestinya dilindungi bersama-sama justru menjadi korban satu per satu. Bukan hal yang salah juga, jika kita mengatakan bahwa di sini pemerintah Indonesia, dan lebih jauh lagi, masyarakat Indonesia, telah gagal dalam menghadapi Covid-19.

Ternyata, salah satu pelajaran yang dapat diambil dari penanganan Covid-19 di Indonesia, adalah bahwa Indonesia - baik pemerintahannya maupun masyarakatnya - tidak mampu membendung kekuatan dan pengaruh oknum-oknum terhadap berhasil-tidaknya, baik-buruknya sistem-sistem mereka. Kesadaran ini, menurut penulis, merupakan sesuatu yang penting, karena nyatanya penanganan pandemi Covid-19 bukanlah satu-satunya sistem di mana ‘oknum’ memiliki kekuatan besar yang sedang Indonesia hadapi. Contoh sistem serupa adalah pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan bahkan pelaksanaan pemerintahan itu sendiri; di mana kekuatan terpusat kepada oknum-oknum yang tidak representatif akan seluruh sistemnya. Bedanya, penanganan Covid-19 di Indonesia dapat diukur hasilnya dan dinilai dengan mudah. Dari sini, kita bisa mendapat pelajaran-pelajaran lain yang lebih spesifik dan berharga dalam menghadapi sistem-sistem di mana oknum punya kekuatan yang sedang berjalan, dan mungkin akan terus berjalan tanpa pernah dapat dinilai.

 

 

REFERENSI

-        CNN Indonesia – Positif Covid-19 Melonjak 12.906 Kasus, Kematian Naik 248
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210619151639-20-656637/positif-covid-19-melonjak-12906-kasus-kematian-naik-248

Dikunjungi pada 28/06/2021

-        Ayo Surabaya - Larangan Mudik 2021 Dicabut, Benarkah Cek Faktanya?
https://www.ayosurabaya.com/read/2021/05/01/10420/larangan-mudik-2021-dicabut-benarkah-cek-faktanya

Dikunjungi pada 28/06/2021

-        Detik Health - Doni Monardo Geram Masih Ada 17 Persen Warga Yang Tak Percaya Corona
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5486777/doni-monardo-geram-masih-ada-17-persen-warga-yang-tak-percaya-corona

Dikunjungi pada 28/06/2021

-        Deutsche Welle – Survei Hanya 54.9% Masyarakat Bersedia Divaksinasi, Ini Kata Pemerintah

https://www.dw.com/id/survei-hanya-549-masyarakat-bersedia-divaksinasi-ini-kata-pemerintah/a-56645691

Dikunjungi pada 29/06/2021

-        Gatra – Miris Covid Makin Mengiris Kepatuhan Warga Pada Prokes Tipis

https://www.gatra.com/detail/news/515616/kesehatan/miris-covid-makin-mengiris-kepatuhan-warga-pada-prokes-tipis

Dikunjungi pada 29/06/2021

-        AntaraNews – Epidemiolog: Sinergi Pemerintah-Masyarakat Penting Tekad Covid-19s

https://www.antaranews.com/berita/2237514/epidemiolog-sinergi-pemerintah-masyarakat-penting-tekan-covid-19

Dikunjungi pada 30/06/2021

-        Kompas – Polisi Tutup Tempat Usaha, Pedagang Ngamuk: “Kami Laksanakan Hidup Pak”

https://www.kompas.tv/article/80344/polisi-tutup-tempat-usaha-pedagang-ngamuk-kami-laksanakan-hidup-pak

Dikunjungi pada 30/06/2021

-        VOI.ID – Jerinx Demo Anti Rapid Test, Kasatpol: If You Get Covid-19, Who Is Responsible
https://voi.id/en/news/9746/jerinx-demo-anti-rapid-test-kasatpol-if-you-get-covid-19-who-is-responsible

Dikunjungi pada 30/06/2021 

Comments

Popular Posts